Minggu, 08 Desember 2013
Responding Papers
Mata Kuliah                : Relasi Gender Dalam Agama-agama
Dosen Pembimbing     : Hj. Siti Nadroh, MA.
Responder                   : Rini Farida
NIM                            : 1111 0321 000 57

1.      RELASI GENDER DI DALAM AGAMA YAHUDI
A.     Perempuan dalam Tradisi Yahudi  
Dalam tradisi Yudaisme, perempuan di satu sisi digambarkan sebagai makhluk yang kuat, baik dan sopan, sepeti: Batsheba sebagai perempuan yang pandai, Deborah seorang nabi perempuan, Ruth seorang yang terpandang dan Esther seorang juru selamat rakyatnya. Namun, dalam tradisi Yudaisme, juga ditemukan ajaran bahwa perempuan  merupakan asal mula dosa dan juga melalui perempuan manusia akan mati. Laki-laki harus bekerja dan perempuan harus melahirkan dalam kesakitan.3 Perempuan yang sedang menstruasi dan 7 hari selebihnya dianggap kotor dan tidak suci, bahkan harus disembunyikan di goa-goa gelap atau diasingkan dan sebagainya. Perempuan yang melahirkan, 33 hari dianggap kotor apabila anaknya laki-laki. Kalau anaknya perempuan, maka masa tidak sucinya /kotornya menjadi berlipat.  Jika telah selesai masa tidak sucinya, ia harus mencari pendeta untuk membuat penebusan dosa untuknya. Bahkan dalam Talmud, ada teks doa:
“saya berterimakasih pada-Mu Tuhan, karena tidak menjadikanku perempuan.”

2.       RELASI GENDER DALAM AGAMA KRISTEN.
A.    Perempuan dalam Tradisi Kristen  
Laki-laki dan perempuan, meskpun berbeda dalan berbagai hal, tetap merupakan pribadi-pribadi yang mempunyai nilai yang sama. Karena keduanya diciptakan berdasarkan "gambar" Tuhan. Namun dalam tradisi agama ini, juga terdapat ajaran bahwa kepemimpinan laki-laki bersifat kodrati dan given dari Tuhan. Karenanya, upaya mempersamakan laki-laki dan perempuan dalam konteks ini, juga dianggap sebagai melawan hukum Tuhan. Ajaran semacam ini, tampak pada naskah pasca-Paulus dalam perjanjian Baru, yang  mensistematisir agama Kristen Patriarkhal. Dengan demikian, ajaran ini berlawanan dengan sistem ajaran Kristen kerakyatan awal.  Pada gerakan Kristen akhir-akhir ini, terdapat banyak aktivis dan pemikir yang memberikan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Grimke misalnya, menyatakan
bahwa kelemahan wanita dalam hal intelektualitas dan kepemimpinan bukanlah hal yang alami, namun karena adanya penyimpangan-penyimpangan sosial. Sekali perempuan dibebaskan dari ketidakadilan sosial, maka ia akan mendapatkan hak dan kesempatan.
B.      Gender dalam Perspektif Agama Kristen Protestan
Keberadaan laki-laki dan perempuan, dalam Al-Kitab, digambarkan bahwa sebenarnya hakekat laki-laki dan perempuan adalah setara. Kejadian 1 ayat (27), Mazmur 8 ayat (59) menggambarkan bahwa Tuhan menciptakan manusia segambar dengan Allah. Bukan berarti Tuhan punya telinga dan sebagainya, tetapi manusia selain merupakan anugerah sebagai mahkluk yang mulia, juga mempunyai kewajiban untuk mencerminkan citra Allah yang mulia.
Dalam Kejadian 2 ayat (15-18) disebutkan; "Tuhan menciptakan manusia di taman Eiden untuk mengusahakan dan memelihara Eiden. Eiden itu bukan merupakan suatu tempat, tetapi merupakan sebuah kondisi, yang kita sebagai orang yang beriman menggambarkannya sebagai salam, salom, sahdu dan sandu. Suasana di mana relasi manusia dengan Allah, relasi manusia dengan sesama, dengan lingkungan terjadi harmonisasi.
Ditegaskan khususnya dalam di Kejadian 2 ayat (18); "Tidak baik manusia itu seorang diri saja, aku memberikan penolong yang sepadan dengan dia." Teks ini secara tradisional ditafsirkan hadirnya seorang perempuan bagi laki-laki. Jika direinterpretasi bermakna bahwa manusia jangan merasa sombong. Maksudnya orang sadar bahwa dalam mengelola Eiden ini dia membutuhkan orang lain serta bagaimana orang menerima kehadiran orang lain sebagai penolong yang diberikan oleh Allah dan punya kedudukan yang sama. Hal ini mempunyai konteks umum dan khusus. Konteks umum adalah bagaimana orang menerima kehadiran orang lain sebagai penolong, bukan sebagai rival yang harus disingkirkan. Sedangkan dalam konteks khusus adalah bagaimana seseorang menyambut istri atau suami.
Di zaman Yesus, terdapat tiga mazhab, yaitu Mazhab Farisi, Mazhab Bilel dan Mazhab Sama'i. Mazhab Bilel merupakan pengaruh dari Hamaliel. Dalam mazhab ini, perempuan diletakkan pada posisi yang rendah, sehingga laki-laki boleh menceraikan perempuan dengan alasan apa saja.
Terkait dengan masalah tersebut, Yesus memberikan pengajaran; "Tidakkah kamu membaca bahwa Tuhan menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan. Sebab itu laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging, mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia."
Jawaban Yesus ini jika disistemasir dalam empat prinsip dasar penghayatan perkawinan. Pertama, dari teks bahwa Allah menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini saya menangkap bahwa orang mengahayati perkawinan itu dalam kesadaran diri sebagai ciptaan Allah yang terhormat. Dengan kesadaran bahwa saya adalah ciptaan Allah yang punya kehormatan, maka saya akan memperlakukan istri saya juga dalam pengkudusan dan kehormatan. Jadi perkawinan bukan hanya kebutuhan biologis semata. Pasangan saya bukan sekedar alat pemuas bagi saya, pasangan saya adalah manusia yang harus saya kuduskan dan saya hormati.
Kedua, bahwa teks ini disusun di zaman yang sangat kental dengan budaya patriarkhi. Yang dikatakan meninggalkan ayah dan ibunya hanya laki-laki, seharusnya semua. Menurut teks Matius 19 itu adalah perempuan juga harus meninggalkan ayah dan ibunya bersatu dengan suaminya. Sebenarnya pelaksanan dalam masyarakat protestan, perempuan juga meninggalkan orangtuanya, tetapi mereka masih sangat takut untuk melakukan teks kritik, sehingga tidak berani secara ekplisit mengeluarkannya. Meninggalkan ayah dan ibunya itu bukan berarti meninggalkan kekerabatan dan tanggungjawabnya untuk menghormati orangtua, tetapi mandiri. Orang yang sudah berani menikah berarti dia juga harus sudah berani mandiri, baik secara materiil maupun mandiri secara spiritual.
Yang ketiga, dalam teks dikatakan bahwa keduanya menjadi satu daging, mereka tidak lagi dua melainkan satu. Hal ini berarti bahwa Yesus mengajarkan bahwa perkawinan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Dalam Kurintus 7 ayat (3 dan 4) dinasehatkan demikian; "Hendaknya suami memenuhi kewajibannya terhadap istrinya demikian istri terhadap suaminya. Istri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi istrinya." Hal ini berarti ikatan dalam perkawinan bukan hanya ikatan batin saja.
Yang keempat, Dalam teks dikatakan bahwa apa yang telah dipersatukan Allah jangan diceraikan. Di sini Yesus mengajarkan bahwa perkawinan itu bagian dari karya Allah. Dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 2 disebutkan, "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan, tiap-tiap perkawinan disahkan oleh Undang-Undang."

C.      Gender dalam Perspektif Agama Katolik
Permasalahan gender dalam Katolik tidak terlepas dari konteks tradisi dan budaya, khususnya budaya agama Yahudi. Dalam agama Yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran. Begitu juga di Indonesia, ajaran Kristen tidak dapat terlepas dari budaya warga Indonesia.
Dalam Kejadian 2 disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia dari bumi. Manusia yang pertama kali diciptakan adalah Adam. Kemudian dari tulang rusuk Adam diciptakanlah Hawa. Kemudian disebutkan bahwa Adam jatuh ke dalam dosa karena Hawa. Teks ini memunculkan pandangan bahwa perempuan adalah manusia kedua. Perempuan juga dipandang sebagai sumber dosa. Gereja mengambil teks ini sebagai dasar pandangan hubungan (relasi) antara laki-laki dengan perempuan. Hubungan ini dipandang hanya berdasarkan jenis kelamin saja. Posisi sub ordinat perempuan seperti inilah yang menjadi dasar pandangan awal gereja mengenai perempuan.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan perkembangan zaman, Gereja menolak ketidakadilan gender, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Gereja memperhatikan dengan serius dasar-dasar ajaran agama, yaitu; tradisi, teologi dan filsafat, kitab suci serta ajaran gereja dengan pastoral lainnya.
1.    Aspek Tradisi
Salah satu sumber ajaran iman dan moral Katolik adalah tradisi. Tradisi gereja masih dipengaruhi oleh budaya yang bersifat patriarkhis. Suami merupakan penguasa dalam keluarga. Wanita diletakkan dalam posisi sub ordinat. Hal ini merupakan suatu bentuk ketidakadilan gender yang mendasar. Namun Perjanjian Baru memandang bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama, sehingga dengan jelas Perjanjian Baru menolak segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan hal tersebut maka perlu diadakan perubahan penafsiran kitab suci, terutama Kitab Perjanjian Lama.
2.    Aspek Teologi dan Filsafat
Dalam Kristen, baik itu Katolik maupun Protestan, pencitraan Allah adalah sebagai Bapak, sehingga muncul pandangan bahwa Allah adalah laki-laki. Hal ini mengontruksikan suatu pemikiran bahwa laki-laki adalah penguasa dalam keluarga sehingga sangat berpotensi menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga. Sesungguhnya hubungan manusia dengan Allah adalah bersifat personal sehingga Allah dapat mempersonifikasikan diri sebagai Bapak maupun sebagai Ibu.
3.    Aspek Kitab Suci
Dalam Kejadian 2 pasal 2 ayat (5) disebutkan bahwa perempuan merupakan manusia kedua, perempuan sebagai penggoda. Teks normatif ini sangat berpotensi memunculkan kekerasan dalam rumahtangga jika ditafsirkan secara salah. Padahal dalam Kejadian 1 ayat (26) disebutkan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sama secitra dengan Allah, keduanya adalah baik.
Dalam Kitab Perjanjian Lama, banyak ketentuan-ketentuan yang menempatkan perempuan sebagai mahkluk kedua, dan diposisikan pada posisi yang sub ordinat. Hal ini sangat berpotensi memunculkan kekerasan psikologis dalam keluarga.
Pencitraan perempuan yang cenderung terasa tidak adil gender ini diperbaharui dan diformulasikan kembali dalam Kitab Perjanjian Baru. Dalam Kitab Perjanjian Baru, perempuan mendapat posisi yang sejajar dengan laki-laki. Yesus menempatkan perempuan pada posisi yang harus dihormati. Bahkan karena dianggap terlalu memuliakan perempuan dan terlalu memperjuangkan perempuan inilah kemudian Yesus ditangkap dan kemudian dihukum salib oleh penguasa pada waktu itu yang memegang faham patriarkal.
4.    Aspek Ajaran Gereja
Dalam pandangan Gereja Katolik, perempuan dianggap mempunyai martabat yang sama dengan laki-laki. Mereka mempunyai hak untuk berperan dalam masyarakat. Pengakuan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan haruslah dihormati. Gereja mengemukakan sikap keterbukaan dalam keluarga, sehingga interaksi dalam keluarga muncul kesejajaran. Gereja Katolik dengan jelas bersikap tidak toleran terhadap ketidakadilan, termasuk ketidakadilan gender yang berpotensi memicu kekerasan dalam keluarga.
Dalam Katolik ada satu komisi yang melayani urusan keluarga yaitu pastoral keluarga yang bertugas melakukan pendampingan keluarga, untuk menanggulangi munculnya kekerasan dalam rumahtangga, termasuk perceraian.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Gereja Katolik menolak ketidakadilan gender. Tetapi untuk mewujudkan keadilan gender dalam masyarakat masih terdapat hambatan yaitu faktor tradisi patriarkhis.
tan yang sama.

3.      Relasi Gender Dalam Buddhisme
A.    Perempuan dalam Tradisi Budhisme                                                   
Dalam tradisi Budhisme, sejak awal memberikan tempat kepada perempuan egaliter dengan laki-laki. Hal ini misalnya dapat dilihat betapa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam menempuh jalan spiritual untuk mencapai Nirwana. Hal ini termaktub dalam teks: “Siapapun yang memiliki seuah kendaraan seperti itu, baik perempuan maupun laki-laki, sesungguhnya dengan mempergunakan kendaraan tadi, ia akan mencapai Nirwana” (S.1.3). Budhisme juga memiliki ordo rahib perempuan, dia dapat mencapai arhant (Nirwana). Karenanya, rintangan utama untuk mencapai pencerahan bukanlah perempuan, tetapi sikap mental. Namun demikian, dalam aliran Budha Mahayana, perempuan diposisikan lebih rendah daripada laki-laki. 
B.     Gender dalam Perspektif Agama Buddha
Kondisi masyarakat India pada masa pra-Buddha diwarnai oleh perlakuan yang diskriminatif atas kasta dan gender. Salah satu ajaran Brahmanisme yang sangat seksis mengatakan bahwa hanya keturunan laki-laki yang berhak melaksanakan ritual penyucian pada saat upacara kematian orang tua mereka (ayah), dan akan mengangkat ayah mereka masuk ke alam surga. Perempuan tidak berhak dan diyakini tidak memiliki kemampuan untuk menyelamatkan orang tua mereka. Dalam situasi demikian, Buddha hadir membawa pembaharuan. Kasta dihapuskan, perempuan diberi hak dan kesempatan yang hampir sama dengan laki-laki dalam menjalani kehidupan religius maupun sosial. Totalitas sikap Buddha yang adil gender ialah didirikannya Sangha Bhikkhuni atau komunitas perempuan yang menjalani hidup suci secara selibat. Perempuan memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan atas jalan hidupnya sendiri: menjadi perumah-tangga biasa, atau meninggalkan peran tradisional tersebut dan hidup sebagai bhikkhuni. Buddha Gautama telah mewujudkan keadilan gender yang hampir setara, yang pada konteks jaman tersebut merupakan hal yang sangat radikal.
Pembaharuan yang dibawa oleh Buddha tersebut bertolak dari Hukum Karma yang diajarkannya: Kemuliaan seseorang tidak berasal pada kelahirannya yang berjenis kelamin atau dari keturunan (kasta) tertentu, melainkan ditentukan oleh perbuatan yang dilakukan. Ritual-ritual persembahan atau pengorbanan tidak dapat menyucikan batin dan membebaskan seseorang dari samsara; oleh karenanya, salah satu keyakinan yang mendiskreditkan perempuan karena dianggap tidak dapat menyucikan orang tuanya setelah mereka meninggal adalah tidak benar.
Buddha menegaskan potensi pencapaian spiritual yang sama antara kaum laki-laki dan perempuan asal tekun melatih diri dengan menyempurnakan: Sila (moralitas), Samadhi (konsentrasi), dan Pañña (kebijaksanaan). Tidak ada bias gender atau seksisme dalam ‘ajaran Buddha yang fundamental dan universal.’
Setelah Buddha mangkat (Parinibbana), status perempuan mengalami kemerosotan lagi. Perkembangan Buddhisme belakangan, terutama sejak munculnya sekte-sekte, telah melahirkan pandangan-pandangan negatif terhadap perempuan yang bertentangan dengan semangat ajaran Buddha yang egaliter. Pendapat lain mengklaim bahwa sifat non-egaliter dalam agama Buddha muncul karena pengaruh Hindu dan Konfusianisme, serta kepercayaan-kepercayaan lokal yang patrtiarkis di mana agama Buddha berkembang.
C.     Keluarga dalam perspektif Buddha
Walaupun ajarannya tidak banyak menyinggung tentang perkawinan dan keluarga, Buddha memberikan nasihat kepada umatnya yang menempuh hidup berumah-tangga mengenai tata hubungan yang harmonis dan seimbang di antara anggota keluarga. Di dalam Sigalovadha Sutta dijabarkan tugas dan kewajiban orang tua-anak, suami-istri, atasan-bawahan, tuan-pembantu, bahkan juga guru-murid, teman atau sahabat. Tugas dan kewajiban masing-masing komponen (bukan hak dan kewajiban) menjadi dasar yang kuat karena mendorong semua pihak untuk bersikap memberi daripada menerima. Mengapa bukan hak dan kewajiban? Buddha menekankan bahwa seseorang hendaknya selalu mendahulukan kewajibannya, selalu  berpikir untuk mempersembahkan sesuatu yang bermanfaat dan membuat orang lain bahagia. Berpikir untuk mendapatkan atau menuntut hak dari orang lain demi kepentingan kita pribadi adalah sikap yang egois.
Yang Mulia Dalai Lama menjelaskan jika seseorang mulai memikirkan dan mengejar kebahagiaannya sendiri, maka pada saat itulah penderitaan bermula. Sebaliknya ketika ia melupakan dirinya sendiri dan mencari cara untuk membantu meringankan beban dan membahagiakan orang lain, saat itulah kebahagiaan muncul. Sebagaimana dikutip oleh Tsomo, “Happiness comes from replacing our self-centered attitudes with the wish to help others —generating loving kindness and compassion even toward those who harm us.” Dalam konteks kehidupan berkeluarga, apabila setiap anggota keluarga memenuhi tugas dan kewajibannya berarti: 1) tidak ada yang berpikir egois bahwa orang lain yang harus membahagiakan dirinya, 2) tidak ada yang meninggalkan kewajibannya sehingga membebani orang lain dan menyebabkan ketidakseimbangan dalam keluarga, 3) setiap anggota keluarga berpikir bahwa kebahagiaan keluarga menjadi tanggung-jawab seluruh anggota, dan oleh karenanya semua harus aktif mengupayakannya.
Komponen keluarga meliputi suami-istri, orang tua/ mertua anak, dan majikan pegawai/ pembantu. Kewajiban dari masing-masing komponen tersebut akan diuraikan di bawah ini seperti yang tertulis di dalam Sigalovada Sutta:


4.      Daftar Pustaka
Arvind Sharma (ed.), Perempuan Dalam Agama-agama Dunia, Jakarta: Ditpertais Depag RI-CIDA- McGill Project, 2002.
Subagyo, Bambang. 2006. Sikap dalam Mewujudkan Kemitrasejajaran Laki-Laki dan Perempuan dalam Keluarga, Makalah untuk Diskusi “Penguatan Pemahaman Dan Sikap Keagamaan Yang Adil Gender Dalam Keluarga” diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia, 8 September 2006.
Makalah Rengganiasih, Wilis. 2006. Perspektif Buddhis tentang Pemahaman dan Sikap Adil Gender dalam Keluarga, untuk Diskusi “Penguatan Pemahaman Dan Sikap Keagamaan Yang Adil Gender Dalam Keluarga” diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia, 5 September 2006.
Agung, Ida Bagus. 2006. Gender Dan Swadharma Warga Rumah Tangga Dalam Perspektif Agama Hindu, Makalah untuk Diskusi “Penguatan Pemahaman Dan Sikap Keagamaan Yang Adil Gender Dalam Keluarga” diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia, 8 September 2006.





0 komentar:

Posting Komentar