Responding
Papers
Mata Kuliah : Relasi Gender Dalam Agama-agama
Dosen
Pembimbing : Hj. Siti Nadroh, MA.
Responder : Rini Farida
NIM : 1111 0321 000 57
1.
RELASI GENDER DI DALAM AGAMA YAHUDI
A. Perempuan dalam Tradisi Yahudi
Dalam tradisi Yudaisme, perempuan di satu sisi
digambarkan sebagai makhluk yang kuat, baik dan sopan, sepeti: Batsheba sebagai
perempuan yang pandai, Deborah seorang nabi perempuan, Ruth seorang yang
terpandang dan Esther seorang juru selamat rakyatnya. Namun, dalam tradisi Yudaisme,
juga ditemukan ajaran bahwa perempuan
merupakan asal mula dosa dan juga melalui perempuan manusia akan mati.
Laki-laki harus bekerja dan perempuan harus melahirkan dalam kesakitan.3
Perempuan yang sedang menstruasi dan 7 hari selebihnya dianggap kotor dan tidak
suci, bahkan harus disembunyikan di goa-goa gelap atau diasingkan dan
sebagainya. Perempuan yang melahirkan, 33 hari dianggap kotor apabila anaknya
laki-laki. Kalau anaknya perempuan, maka masa tidak sucinya /kotornya menjadi
berlipat. Jika telah selesai masa tidak
sucinya, ia harus mencari pendeta untuk membuat penebusan dosa untuknya. Bahkan
dalam Talmud, ada teks doa:
“saya berterimakasih pada-Mu Tuhan, karena tidak
menjadikanku perempuan.”
2.
RELASI GENDER
DALAM AGAMA KRISTEN.
A. Perempuan dalam Tradisi Kristen
Laki-laki dan perempuan, meskpun berbeda dalan
berbagai hal, tetap merupakan pribadi-pribadi yang mempunyai nilai yang sama.
Karena keduanya diciptakan berdasarkan "gambar" Tuhan. Namun dalam
tradisi agama ini, juga terdapat ajaran bahwa kepemimpinan laki-laki bersifat
kodrati dan given dari Tuhan. Karenanya, upaya mempersamakan laki-laki dan
perempuan dalam konteks ini, juga dianggap sebagai melawan hukum Tuhan. Ajaran
semacam ini, tampak pada naskah pasca-Paulus dalam perjanjian Baru, yang mensistematisir agama Kristen Patriarkhal.
Dengan demikian, ajaran ini berlawanan dengan sistem ajaran Kristen kerakyatan
awal. Pada gerakan Kristen akhir-akhir
ini, terdapat banyak aktivis dan pemikir yang memberikan hak yang sama antara
laki-laki dan perempuan. Grimke misalnya, menyatakan
bahwa kelemahan wanita dalam hal
intelektualitas dan kepemimpinan bukanlah hal yang alami, namun karena adanya
penyimpangan-penyimpangan sosial. Sekali perempuan dibebaskan dari
ketidakadilan sosial, maka ia akan mendapatkan hak dan kesempatan.
Keberadaan laki-laki dan perempuan, dalam
Al-Kitab, digambarkan bahwa sebenarnya hakekat laki-laki dan perempuan adalah
setara. Kejadian 1 ayat (27), Mazmur 8 ayat (59) menggambarkan bahwa Tuhan
menciptakan manusia segambar dengan Allah. Bukan berarti Tuhan punya telinga
dan sebagainya, tetapi manusia selain merupakan anugerah sebagai mahkluk yang
mulia, juga mempunyai kewajiban untuk mencerminkan citra Allah yang mulia.
Dalam Kejadian 2 ayat (15-18) disebutkan;
"Tuhan menciptakan manusia di taman Eiden untuk mengusahakan dan
memelihara Eiden. Eiden itu bukan merupakan suatu tempat, tetapi merupakan
sebuah kondisi, yang kita sebagai orang yang beriman menggambarkannya sebagai salam,
salom, sahdu dan sandu. Suasana di mana relasi manusia dengan Allah, relasi
manusia dengan sesama, dengan lingkungan terjadi harmonisasi.
Ditegaskan khususnya dalam di Kejadian 2 ayat
(18); "Tidak baik manusia itu seorang diri saja, aku memberikan penolong
yang sepadan dengan dia." Teks ini secara tradisional ditafsirkan hadirnya
seorang perempuan bagi laki-laki. Jika direinterpretasi bermakna bahwa manusia
jangan merasa sombong. Maksudnya orang sadar bahwa dalam mengelola Eiden ini
dia membutuhkan orang lain serta bagaimana orang menerima kehadiran orang lain
sebagai penolong yang diberikan oleh Allah dan punya kedudukan yang sama. Hal
ini mempunyai konteks umum dan khusus. Konteks umum adalah bagaimana orang
menerima kehadiran orang lain sebagai penolong, bukan sebagai rival yang harus
disingkirkan. Sedangkan dalam konteks khusus adalah bagaimana seseorang
menyambut istri atau suami.
Di zaman Yesus, terdapat tiga mazhab, yaitu
Mazhab Farisi, Mazhab Bilel dan Mazhab Sama'i. Mazhab Bilel merupakan pengaruh
dari Hamaliel. Dalam mazhab ini, perempuan diletakkan pada posisi yang rendah,
sehingga laki-laki boleh menceraikan perempuan dengan alasan apa saja.
Terkait dengan masalah tersebut, Yesus
memberikan pengajaran; "Tidakkah kamu membaca bahwa Tuhan menciptakan
manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan. Sebab itu
laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya bersatu dengan istrinya, sehingga
keduanya menjadi satu daging, mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena itu
apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh
manusia."
Jawaban Yesus ini jika disistemasir dalam
empat prinsip dasar penghayatan perkawinan. Pertama, dari teks bahwa Allah
menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan.
Dalam hal ini saya menangkap bahwa orang mengahayati perkawinan itu dalam
kesadaran diri sebagai ciptaan Allah yang terhormat. Dengan kesadaran bahwa
saya adalah ciptaan Allah yang punya kehormatan, maka saya akan memperlakukan
istri saya juga dalam pengkudusan dan kehormatan. Jadi perkawinan bukan hanya
kebutuhan biologis semata. Pasangan saya bukan sekedar alat pemuas bagi saya,
pasangan saya adalah manusia yang harus saya kuduskan dan saya hormati.
Kedua, bahwa teks ini disusun di zaman yang
sangat kental dengan budaya patriarkhi. Yang dikatakan meninggalkan ayah dan
ibunya hanya laki-laki, seharusnya semua. Menurut teks Matius 19 itu adalah
perempuan juga harus meninggalkan ayah dan ibunya bersatu dengan suaminya.
Sebenarnya pelaksanan dalam masyarakat protestan, perempuan juga meninggalkan
orangtuanya, tetapi mereka masih sangat takut untuk melakukan teks kritik,
sehingga tidak berani secara ekplisit mengeluarkannya. Meninggalkan ayah dan
ibunya itu bukan berarti meninggalkan kekerabatan dan tanggungjawabnya untuk
menghormati orangtua, tetapi mandiri. Orang yang sudah berani menikah berarti
dia juga harus sudah berani mandiri, baik secara materiil maupun mandiri secara
spiritual.
Yang ketiga, dalam teks dikatakan bahwa
keduanya menjadi satu daging, mereka tidak lagi dua melainkan satu. Hal ini
berarti bahwa Yesus mengajarkan bahwa perkawinan merupakan satu kesatuan yang
utuh dalam ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Dalam Kurintus 7 ayat (3 dan 4) dinasehatkan
demikian; "Hendaknya suami memenuhi kewajibannya terhadap istrinya
demikian istri terhadap suaminya. Istri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri,
tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri,
tetapi istrinya." Hal ini berarti ikatan dalam perkawinan bukan hanya
ikatan batin saja.
Yang keempat, Dalam teks dikatakan bahwa apa
yang telah dipersatukan Allah jangan diceraikan. Di sini Yesus mengajarkan
bahwa perkawinan itu bagian dari karya Allah. Dalam Undang-Undang Perkawinan
pasal 2 disebutkan, "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan, tiap-tiap perkawinan disahkan oleh
Undang-Undang."
Permasalahan gender dalam Katolik tidak
terlepas dari konteks tradisi dan budaya, khususnya budaya agama Yahudi. Dalam
agama Yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan
perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu
perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran.
Begitu juga di Indonesia, ajaran Kristen tidak dapat terlepas dari budaya warga
Indonesia.
Dalam Kejadian 2 disebutkan bahwa Allah
menciptakan manusia dari bumi. Manusia yang pertama kali diciptakan adalah
Adam. Kemudian dari tulang rusuk Adam diciptakanlah Hawa. Kemudian disebutkan
bahwa Adam jatuh ke dalam dosa karena Hawa. Teks ini memunculkan pandangan
bahwa perempuan adalah manusia kedua. Perempuan juga dipandang sebagai sumber
dosa. Gereja mengambil teks ini sebagai dasar pandangan hubungan (relasi)
antara laki-laki dengan perempuan. Hubungan ini dipandang hanya berdasarkan
jenis kelamin saja. Posisi sub ordinat perempuan seperti inilah yang menjadi
dasar pandangan awal gereja mengenai perempuan.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, seiring
dengan perkembangan zaman, Gereja menolak ketidakadilan gender, baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat. Gereja memperhatikan dengan serius
dasar-dasar ajaran agama, yaitu; tradisi, teologi dan filsafat, kitab suci
serta ajaran gereja dengan pastoral lainnya.
1. Aspek Tradisi
Salah satu sumber ajaran iman dan moral
Katolik adalah tradisi. Tradisi gereja masih dipengaruhi oleh budaya yang
bersifat patriarkhis. Suami merupakan penguasa dalam keluarga. Wanita
diletakkan dalam posisi sub ordinat. Hal ini merupakan suatu bentuk
ketidakadilan gender yang mendasar. Namun Perjanjian Baru memandang bahwa
laki-laki dan perempuan adalah sama, sehingga dengan jelas Perjanjian Baru
menolak segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan hal tersebut maka
perlu diadakan perubahan penafsiran kitab suci, terutama Kitab Perjanjian Lama.
2. Aspek Teologi dan
Filsafat
Dalam Kristen, baik itu Katolik maupun
Protestan, pencitraan Allah adalah sebagai Bapak, sehingga muncul pandangan
bahwa Allah adalah laki-laki. Hal ini mengontruksikan suatu pemikiran bahwa
laki-laki adalah penguasa dalam keluarga sehingga sangat berpotensi menimbulkan
kekerasan dalam rumah tangga. Sesungguhnya hubungan manusia dengan Allah adalah
bersifat personal sehingga Allah dapat mempersonifikasikan diri sebagai Bapak
maupun sebagai Ibu.
3. Aspek Kitab Suci
Dalam Kejadian 2 pasal 2 ayat (5) disebutkan
bahwa perempuan merupakan manusia kedua, perempuan sebagai penggoda. Teks
normatif ini sangat berpotensi memunculkan kekerasan dalam rumahtangga jika
ditafsirkan secara salah. Padahal dalam Kejadian 1 ayat (26) disebutkan bahwa
Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sama secitra dengan Allah, keduanya
adalah baik.
Dalam Kitab Perjanjian Lama, banyak
ketentuan-ketentuan yang menempatkan perempuan sebagai mahkluk kedua, dan
diposisikan pada posisi yang sub ordinat. Hal ini sangat berpotensi memunculkan
kekerasan psikologis dalam keluarga.
Pencitraan perempuan yang cenderung terasa
tidak adil gender ini diperbaharui dan diformulasikan kembali dalam Kitab
Perjanjian Baru. Dalam Kitab Perjanjian Baru, perempuan mendapat posisi yang
sejajar dengan laki-laki. Yesus menempatkan perempuan pada posisi yang
harus dihormati. Bahkan karena dianggap terlalu memuliakan perempuan dan terlalu
memperjuangkan perempuan inilah kemudian Yesus ditangkap dan kemudian dihukum
salib oleh penguasa pada waktu itu yang memegang faham patriarkal.
4. Aspek Ajaran Gereja
Dalam pandangan Gereja Katolik, perempuan
dianggap mempunyai martabat yang sama dengan laki-laki. Mereka mempunyai hak
untuk berperan dalam masyarakat. Pengakuan kesejajaran antara laki-laki dan
perempuan haruslah dihormati. Gereja mengemukakan sikap keterbukaan dalam
keluarga, sehingga interaksi dalam keluarga muncul kesejajaran. Gereja Katolik
dengan jelas bersikap tidak toleran terhadap ketidakadilan, termasuk
ketidakadilan gender yang berpotensi memicu kekerasan dalam keluarga.
Dalam Katolik ada satu komisi yang melayani
urusan keluarga yaitu pastoral keluarga yang bertugas melakukan pendampingan
keluarga, untuk menanggulangi munculnya kekerasan dalam rumahtangga, termasuk
perceraian.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
Gereja Katolik menolak ketidakadilan gender. Tetapi untuk mewujudkan keadilan
gender dalam masyarakat masih terdapat hambatan yaitu faktor tradisi
patriarkhis.
tan yang sama.
3.
Relasi Gender Dalam Buddhisme
A. Perempuan dalam Tradisi Budhisme
Dalam tradisi Budhisme, sejak awal memberikan tempat kepada
perempuan egaliter dengan laki-laki. Hal ini misalnya dapat dilihat betapa
perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam menempuh jalan spiritual
untuk mencapai Nirwana. Hal ini termaktub dalam teks: “Siapapun yang memiliki
seuah kendaraan seperti itu, baik perempuan maupun laki-laki, sesungguhnya
dengan mempergunakan kendaraan tadi, ia akan mencapai Nirwana” (S.1.3).
Budhisme juga memiliki ordo rahib perempuan, dia dapat mencapai arhant (Nirwana).
Karenanya, rintangan utama untuk mencapai pencerahan bukanlah perempuan, tetapi
sikap mental. Namun demikian, dalam aliran Budha Mahayana, perempuan
diposisikan lebih rendah daripada laki-laki.
Kondisi masyarakat
India pada masa pra-Buddha diwarnai oleh perlakuan yang diskriminatif atas
kasta dan gender. Salah satu ajaran Brahmanisme yang sangat seksis mengatakan
bahwa hanya keturunan laki-laki yang berhak melaksanakan ritual penyucian pada
saat upacara kematian orang tua mereka (ayah), dan akan mengangkat ayah mereka
masuk ke alam surga. Perempuan tidak berhak dan diyakini tidak memiliki
kemampuan untuk menyelamatkan orang tua mereka. Dalam situasi demikian, Buddha
hadir membawa pembaharuan. Kasta dihapuskan, perempuan diberi hak dan
kesempatan yang hampir sama dengan laki-laki dalam menjalani kehidupan religius
maupun sosial. Totalitas sikap Buddha yang adil gender ialah didirikannya Sangha
Bhikkhuni atau komunitas perempuan yang menjalani hidup suci secara
selibat. Perempuan memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan atas jalan
hidupnya sendiri: menjadi perumah-tangga biasa, atau meninggalkan peran
tradisional tersebut dan hidup sebagai bhikkhuni. Buddha Gautama
telah mewujudkan keadilan gender yang hampir setara, yang pada konteks jaman
tersebut merupakan hal yang sangat radikal.
Pembaharuan yang dibawa oleh Buddha tersebut
bertolak dari Hukum Karma yang diajarkannya: Kemuliaan seseorang tidak berasal
pada kelahirannya yang berjenis kelamin atau dari keturunan (kasta) tertentu,
melainkan ditentukan oleh perbuatan yang dilakukan. Ritual-ritual persembahan
atau pengorbanan tidak dapat menyucikan batin dan membebaskan seseorang
dari samsara; oleh karenanya, salah satu keyakinan yang
mendiskreditkan perempuan karena dianggap tidak dapat menyucikan orang tuanya
setelah mereka meninggal adalah tidak benar.
Buddha menegaskan potensi pencapaian spiritual
yang sama antara kaum laki-laki dan perempuan asal tekun melatih diri dengan
menyempurnakan: Sila (moralitas), Samadhi (konsentrasi),
dan Pañña (kebijaksanaan). Tidak ada bias gender atau seksisme
dalam ‘ajaran Buddha yang fundamental dan universal.’
Setelah Buddha mangkat (Parinibbana),
status perempuan mengalami kemerosotan lagi. Perkembangan Buddhisme belakangan,
terutama sejak munculnya sekte-sekte, telah melahirkan pandangan-pandangan
negatif terhadap perempuan yang bertentangan dengan semangat ajaran Buddha yang
egaliter. Pendapat lain mengklaim bahwa sifat non-egaliter dalam agama Buddha
muncul karena pengaruh Hindu dan Konfusianisme, serta kepercayaan-kepercayaan
lokal yang patrtiarkis di mana agama Buddha berkembang.
C. Keluarga dalam perspektif Buddha
Walaupun ajarannya tidak banyak menyinggung
tentang perkawinan dan keluarga, Buddha memberikan nasihat kepada umatnya yang
menempuh hidup berumah-tangga mengenai tata hubungan yang harmonis dan seimbang
di antara anggota keluarga. Di dalam Sigalovadha Sutta dijabarkan
tugas dan kewajiban orang tua-anak, suami-istri, atasan-bawahan, tuan-pembantu,
bahkan juga guru-murid, teman atau sahabat. Tugas dan kewajiban masing-masing
komponen (bukan hak dan kewajiban) menjadi dasar yang kuat karena mendorong
semua pihak untuk bersikap memberi daripada menerima. Mengapa bukan hak dan
kewajiban? Buddha menekankan bahwa seseorang hendaknya selalu mendahulukan
kewajibannya, selalu berpikir untuk mempersembahkan sesuatu yang
bermanfaat dan membuat orang lain bahagia. Berpikir untuk mendapatkan atau
menuntut hak dari orang lain demi kepentingan kita pribadi adalah sikap yang
egois.
Yang Mulia Dalai Lama menjelaskan jika
seseorang mulai memikirkan dan mengejar kebahagiaannya sendiri, maka pada saat
itulah penderitaan bermula. Sebaliknya ketika ia melupakan dirinya sendiri dan
mencari cara untuk membantu meringankan beban dan membahagiakan orang lain,
saat itulah kebahagiaan muncul. Sebagaimana dikutip oleh Tsomo, “Happiness
comes from replacing our self-centered attitudes with the wish to help others
—generating loving kindness and compassion even toward those who harm us.” Dalam
konteks kehidupan berkeluarga, apabila setiap anggota keluarga memenuhi tugas
dan kewajibannya berarti: 1) tidak ada yang berpikir egois bahwa orang lain
yang harus membahagiakan dirinya, 2) tidak ada yang meninggalkan kewajibannya
sehingga membebani orang lain dan menyebabkan ketidakseimbangan dalam keluarga,
3) setiap anggota keluarga berpikir bahwa kebahagiaan keluarga menjadi
tanggung-jawab seluruh anggota, dan oleh karenanya semua harus aktif
mengupayakannya.
Komponen keluarga meliputi suami-istri, orang
tua/ mertua anak, dan majikan pegawai/ pembantu. Kewajiban dari masing-masing
komponen tersebut akan diuraikan di bawah ini seperti yang tertulis di
dalam Sigalovada Sutta:
4.
Daftar Pustaka
Arvind Sharma (ed.), Perempuan Dalam
Agama-agama Dunia, Jakarta: Ditpertais Depag RI-CIDA- McGill Project, 2002.
Subagyo, Bambang. 2006. Sikap dalam Mewujudkan
Kemitrasejajaran Laki-Laki dan Perempuan dalam Keluarga, Makalah untuk
Diskusi “Penguatan Pemahaman Dan Sikap Keagamaan Yang Adil Gender Dalam
Keluarga” diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia, 8
September 2006.
Makalah Rengganiasih, Wilis. 2006. Perspektif Buddhis
tentang Pemahaman dan Sikap Adil Gender dalam Keluarga, untuk Diskusi
“Penguatan Pemahaman Dan Sikap Keagamaan Yang Adil Gender Dalam Keluarga”
diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia, 5 September
2006.
Agung, Ida Bagus. 2006. Gender Dan Swadharma Warga Rumah
Tangga Dalam Perspektif Agama Hindu, Makalah untuk Diskusi “Penguatan
Pemahaman Dan Sikap Keagamaan Yang Adil Gender Dalam Keluarga” diselenggarakan
oleh Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia, 8 September 2006.
0 komentar:
Posting Komentar